
WARTALENSAINDONESIA, jakarta — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) meminta pemerintah daerah (pemda_ bersiap dan mewaspadai dampak bencana banjir mengingat potensi curah hujan dengan intensitas tinggi masih akan terjadi hingga 11 Maret 2025 di sejumlah wilayah Indonesia.
Hal itu disampaikan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangan persnya, Selasa (4/3/2025). Ia menyebut peran pemda dalam mitigasi bencana sangat krusial.
Dwikorita juga menyampaikan bahwa BMKG siap memberikan pendampingan untuk kepala daerah baru.
“Kami terus menyampaikan peringatan dini cuaca ekstrem melalui berbagai kanal komunikasi resmi, termasuk website, aplikasi mobile, SMS blasting dan media sosial BMKG. Namun efektivitas peringatan dini ini sangat bergantung pada kesiapan daerah dalam meresponsnya dengan langkah konkret. Diperlukan koordinasi yang lebih erat antara pemerintah daerah dan masyarakat guna meminimalkan risiko bencana hidrometeorologi secara lebih cepat dan efektif,” jelasnya.
Dwikorita juga mengajak masyarakat untuk lebih aktif mengakses informasi cuaca melalui kanal resmi BMKG, sehingga dapat mengambil langkah-langkah pencegahan lebih dini.
Sementara itu Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto memprediksi dalam periode 4-11 Maret 2025, hujan dengan intensitas tinggi masih berpotensi terjadi di beberapa wilayah, khususnya di bagian barat dan Kepulauan Papua.
Guswanto juga memprediksi gelombang atmosfer, seperti Rossby Ekuatorial, Low Frequency, dan Kelvin akan tetap aktif di sebagian besar Sumatera, Jawa bagian barat, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Utara, serta Kepulauan Papua yang berdampak pada peningkatan pertumbuhan awan hujan dengan intensitas bervariasi di wilayah-wilayah tersebut.
“Curah hujan tinggi masih berpotensi terjadi dan perlu diwaspadai, terutama di wilayah-wilayah yang rentan terdampak cuaca ekstrem,” jelasnya.
Guswanto menerangkan analisis terbaru menunjukkan terbentuknya sirkulasi siklonik di Samudra Hindia, tepatnya di barat Aceh, serta di selatan Papua. Keberadaan sirkulasi siklonik ini menyebabkan perlambatan kecepatan angin atau konvergensi di berbagai perairan, termasuk Laut Natuna, Laut Banda, perairan selatan Sulawesi, Laut Arafuru, dan Maluku.
Selain itu, daerah pertemuan angin terdeteksi membentang di Laut Flores, Laut Banda, Laut Arafuru, hingga Papua bagian selatan.
Kemudian, daerah perlambatan kecepatan angin lainnya juga terpantau memanjang dari pesisir timur Riau hingga Kepulauan Riau, dari Sumatera Barat hingga Sumatera Selatan, dari Samudra Hindia selatan Jawa Timur hingga selatan Jawa Barat, dari Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan, dari Laut Sulawesi hingga Kalimantan Timur.
Menurut Guswanto, kondisi itu berpotensi memicu peningkatan curah hujan di wilayah-wilayah itu dan dapat berdampak pada aktivitas maritim serta masyarakat pesisir.
Di sisi lain, analisis labilitas lokal mengindikasikan potensi signifikan untuk perkembangan awan konvektif di berbagai daerah seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatra Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Bengkulu, Lampung, dan Banten.
Lalu Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, serta hampir seluruh wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Dia menjelaskan labilitas atmosfer ini berperan dalam mendukung proses pembentukan awan hujan, terutama pada siang hingga sore atau malam hari.
“Dengan meningkatnya aktivitas atmosfer ini, BMKG mengimbau masyarakat di wilayah terdampak untuk tetap waspada terhadap potensi hujan lebat yang dapat disertai kilat, angin kencang, hingga kemungkinan banjir di daerah rawan. Pemantauan cuaca secara berkala sangat penting untuk mengantisipasi dampak dari dinamika atmosfer yang terus berkembang,” papar Guswanto. (*)