
WARTALENSAINDONESIA, Bandar Lampung — Ketahanan beras di Lampung masih terjaga dengan adanya surplus beras rata-rata 724.884 ton per tahun selama periode 2020–2024.
Namun, tren menunjukkan surplus ini semakin menurun dalam lima tahun terakhir, dari 767.043 ton pada 2020 menjadi 710.401 ton pada 2024, atau menyusut sebesar 7,38 persen.
Penyusutan surplus ini mengindikasikan pertumbuhan konsumsi beras lebih cepat dibandingkan pertumbuhan produksi.
Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan Provinsi Lampung mencatat rata-rata sekitar 52,65 persen dari total produksi beras di Lampung dikonsumsi secara domestik, sementara sisanya didistribusikan ke berbagai provinsi lain.
Sehingga ketahanan pangan tidak hanya bergantung pada produksi tetapi juga efisiensi distribusi dan stabilitas pasokan dalam provinsi.
Secara keseluruhan, produksi padi dan beras di Lampung mengalami pertumbuhan dalam lima tahun terakhir, meskipun dengan laju yang relatif rendah.
Produksi padi meningkat sebesar 3,00 persen, dari 2.650.291 ton pada 2020 menjadi 2.729.903 ton pada 2024. Sementara produksi beras juga naik 3,00 persen dari 1.523.525 ton menjadi 1.569.291 ton dalam periode yang sama.
Pertumbuhan ini menunjukkan adanya perbaikan dalam produktivitas pertanian, meskipun masih terdapat tantangan dalam mempertahankan laju pertumbuhan yang lebih tinggi.
“Peningkatan produksi ini perlu ditunjang dengan kebijakan yang mendorong efisiensi pertanian, seperti modernisasi alat produksi, penggunaan varietas unggul, serta optimalisasi penggunaan lahan pertanian yang semakin terbatas,” kata Kepala DJPb Lampung, M Dody Fachrudin dalam keterangannya, Senin (10/3/2025).
Di sisi lain, konsumsi beras di Lampung mengalami peningkatan yang lebih pesat dibandingkan produksi, naik sebesar 13,54 persen dalam lima tahun terakhir, dari 756.482 ton pada 2020 menjadi 858.890 ton pada 2024.
Peningkatan konsumsi ini sejalan dengan pertumbuhan populasi serta perubahan pola konsumsi masyarakat.
Apabila tren ini terus berlanjut, tekanan terhadap surplus beras akan semakin besar, yang dapat berimplikasi pada ketahanan pangan dan stabilitas harga di pasar lokal.
“Oleh karena itu, selain meningkatkan produksi, perlu ada kebijakan untuk diversifikasi pangan guna mengurangi ketergantungan pada beras serta memperkuat cadangan pangan daerah sebagai langkah antisipatif terhadap potensi defisit di masa depan,” ujarnya.
Dengan kondisi surplus yang terus menyempit dan konsumsi yang meningkat, strategi ketahanan pangan Lampung perlu mencakup aspek produksi, distribusi, dan konsumsi secara seimbang.
DJPb Lampung menyebut Pemda perlu memastikan rantai distribusi beras tetap efisien agar harga tetap stabil dan pasokan dalam provinsi terjamin.
Selain itu, penguatan kapasitas penggilingan padi di Lampung menjadi krusial untuk mengurangi ketergantungan pada daerah lain dalam proses pascapanen.
“Dengan kebijakan yang terintegrasi dan berbasis data, Lampung diharapkan dapat terus mempertahankan statusnya sebagai salah satu lumbung pangan nasional sambil memastikan ketahanan pangan masyarakatnya tetap kuat,” ujar M Dody.
Beberapa kabupaten tetap menjadi penopang utama produksi, sementara daerah perkotaan seperti Bandar Lampung dan Metro terus mengalami defisit beras yang signifikan.
Kabupaten Lampung Tengah, Tulang Bawang, dan Lampung Timur merupakan daerah dengan surplus beras tertinggi di Lampung.
Lampung Tengah secara konsisten mencatat surplus di atas 160.000 ton per tahun, menjadikannya sebagai daerah penghasil utama yang berkontribusi besar terhadap ketahanan pangan Lampung.
Kabupaten Tulang Bawang menunjukkan tren surplus yang meningkat dari 83.674 ton pada 2020 menjadi 166.523 ton pada 2024, mencerminkan perbaikan dalam produktivitas pertanian.
Sementara Kabupaten Lampung Timur tetap menjadi penyumbang surplus yang stabil dalam lima tahun terakhir dengan rata- rata di atas 130.000 ton per tahun.
Keunggulan daerah-daerah ini dalam produksi beras menunjukkan bahwa ketahanan pangan Lampung masih sangat bergantung pada wilayah-wilayah sentra produksi pertanian di sekitar pusat ibu kota.
Sebaliknya, beberapa kabupaten dan kota terus mengalami defisit beras, terutama Bandar Lampung dan Lampung Utara. Bandar Lampung mencatat defisit terbesar dengan angka yang terus meningkat dari -93.492 ton pada 2020 menjadi -109.303 ton pada 2024.
Kota Metro dan Kabupaten Tulang Bawang Barat juga menghadapi tantangan serupa meskipun skalanya lebih kecil.
Defisit di daerah perkotaan ini mencerminkan tingginya konsumsi beras dibandingkan dengan kapasitas produksi lokal yang terbatas.
Untuk mengatasi ketidakseimbangan ini, diperlukan sistem distribusi yang lebih efisien serta kebijakan yang mendorong diversifikasi sumber pangan guna mengurangi ketergantungan pada beras sebagai bahan pangan utama.
Selain itu, strategi ketahanan pangan di Lampung juga perlu berfokus pada peningkatan produksi beras di daerah dengan potensi pertanian yang belum maksimal, seperti Kabupaten Way Kanan dan Kabupaten Mesuji.
Kedua daerah ini memiliki lahan pertanian yang cukup luas serta akses terhadap sumber daya air yang mendukung produksi padi, tetapi tren surplus beras dalam lima tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun. (*)